Elpublika.com — Dalam era keterbukaan informasi yang semakin cepat, tanggung jawab jurnalis dalam menyajikan berita yang melibatkan anak di bawah umur menjadi sorotan serius. Headline berita kini bukan hanya alat untuk menarik perhatian pembaca, tetapi juga cermin moral dan profesionalisme media dalam menghormati hak anak.
Ketika sebuah berita menyangkut anak, baik sebagai korban, pelaku, maupun saksi, maka tanggung jawab jurnalis meningkat berlipat. Pemberitaan harus disusun dengan hati-hati agar tidak menimbulkan trauma, stigma, atau pelanggaran hak atas privasi anak. Dalam konteks ini, kepatuhan terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menjadi mutlak.
Secara hukum, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan larangan mengungkap identitas anak dalam perkara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dan Pasal 64, serta melarang segala bentuk eksploitasi anak sebagaimana tercantum dalam Pasal 76B dan 76C. Sementara itu, Kode Etik Jurnalistik Pasal 5 juga secara tegas menyebutkan bahwa wartawan Indonesia dilarang menyiarkan identitas korban kejahatan susila maupun anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kabupaten Musi Rawas Utara, K. Mahmud Salim, SH, menegaskan bahwa media harus menjadi pelindung, bukan pelanggar hak anak. Menurutnya, jurnalis sejati bukanlah pemburu sensasi, melainkan penjaga nurani publik.
“Jurnalis harus menempatkan hati nurani di atas kepentingan klik atau viralitas. Anak-anak bukan bahan sensasi media. Mereka adalah generasi penerus bangsa yang wajib kita lindungi dari dampak buruk pemberitaan,” tegas Mahmud Salim.
Ia juga mengingatkan seluruh insan pers di Muratara agar lebih berhati-hati dalam membuat berita yang melibatkan anak di bawah umur.
“Sekali saja identitas anak terungkap, dampaknya bisa seumur hidup. Tugas pers adalah mendidik dan memberi pencerahan, bukan mempermalukan,” ujarnya.
Mahmud menambahkan, SMSI Muratara terus mendorong peningkatan pemahaman etika jurnalistik di kalangan media lokal. Hal itu dilakukan agar kebebasan pers tetap berjalan berdampingan dengan penghormatan terhadap hak anak dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa media memiliki empat fungsi utama: sebagai sarana informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Tidak satu pun fungsi tersebut yang mengizinkan media untuk menjadi sarana sensasi atau penghakiman publik.
Kepatuhan terhadap UU Perlindungan Anak dan Kode Etik Jurnalistik bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi wujud nyata jurnalisme yang beradab. Pers yang berpihak pada perlindungan anak adalah pers yang matang, bernurani, dan berkomitmen menjaga masa depan generasi penerus bangsa.










