Elia Dikeroyok, Ayah Stroke: Hukum Bungkam, Elia Surati Kapolda

banner 468x60

Elpublika.com-Meski hampir dua bulan melaporkan kasus pengeroyokan, Elia Rumadi, warga Desa Tanjung Agung, Kecamatan Karang Jaya, Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), mengaku belum mendapatkan keadilan dan kejelasan hukum dari laporan yang ia buat di Polres Muratara.

Mendapai laporannya yang belum ada kejelasan, kini Elia melayangkan surat pengaduan yang ditujukan kepada Kapolda Sumatera Selatan, Elia membeberkan secara rinci kronologi kejadian yang dialaminya pada 10 Juni 2025 lalu, usai kegiatan Musrenbangdes. Ia mengaku dikeroyok oleh sejumlah perangkat desa hanya karena mempertanyakan transparansi proyek pembangunan jembatan di desanya.

“Saya dipukul di kepala, disikut di leher, HP saya dijatuhkan. Setelah itu saya dikeroyok oleh empat orang: Kepala Desa Arli Sahrin, Sekretaris Desa Bobi Fatri, Kadus Ahmad Firdaus, dan seorang pemuda bernama Ican Fatri,” ujar Elia, Kamis (7/8/2025).

Pasca kejadian, Elia langsung melakukan visum di Puskesmas dan melapor ke Polres Musi Rawas Utara. Laporannya tercatat dengan Nomor: LP.B / 143 / VI / 2025 / POLDA SUMSEL / POLRES MURATARA, dan ia telah menjalani pemeriksaan serta memberikan keterangan.

Namun hingga kini, Elia menyebut belum ada satupun dari para terlapor yang diperiksa sebagai tersangka.

“Saya hanya minta keadilan. Saya tidak berani pulang ke rumah, pekerjaan terganggu, bahkan ayah saya sampai terkena stroke karena stres memikirkan kasus ini,” katanya.

Menanggapi lambannya penanganan kasus, penasihat hukum korban, Abdul Aziz, ikut angkat bicara. Ia menilai, waktu dua bulan lebih seharusnya cukup bagi penyidik untuk menentukan apakah laporan tersebut memenuhi unsur pidana atau tidak.

“Kami mendesak agar proses hukum ini tidak hanya berhenti pada tahap pemanggilan saksi. Waktu dua bulan cukup panjang bagi penyidik untuk menentukan ada atau tidaknya unsur pidana,” tegas Aziz, Rabu (7/8/2025).

Aziz menegaskan bahwa pihaknya tidak bermaksud menekan penyidik, tetapi mendorong tegaknya kepastian hukum sesuai dengan prinsip due process of law. Jika memang perkara ini dinilai tidak memenuhi unsur pidana, maka seharusnya sudah diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

“Kalau tidak ada unsur pidana, segera SP3! Tapi kalau ada, jangan lindungi siapa pun, termasuk kepala desa sekalipun. Ini menyangkut keadilan bagi korban dan kepercayaan publik terhadap polisi,” ujarnya tajam.

Ia juga menyoroti bahwa keberadaan jabatan publik pada diri para terlapor tidak boleh menjadi alasan bagi tertundanya proses hukum. Menurutnya, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu.

“Jangan sampai masyarakat menilai hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Itu berbahaya bagi citra institusi penegak hukum,” kata Aziz.

Sementara itu, dikutif dari media online lainnya, Kanit Pidum Polres Muratara, Ipda Hanif Faranzandi, S.Tr.K, menyatakan bahwa penyelidikan masih berjalan.

“Penyidik sedang melakukan penyelidikan dengan mengumpulkan keterangan saksi-saksi. Kami juga sudah mengirimkan SP2HP kepada pelapor sebanyak dua kali,” ujarnya.

Namun, Aziz menilai keterangan tersebut belum cukup menjelaskan mengapa proses hukum terlihat jalan di tempat.

“Keterlambatan penetapan tersangka bisa dianggap sebagai bentuk pembiaran terhadap pelaku yang punya kuasa. Kami akan terus mengawal kasus ini sampai ada kepastian hukum,” tegasnya.

 

(Elda)

admin
Author: admin

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *